Preferensi Shalat Tarawih

Tulisan ini tentu bukan untuk menjadi pedoman semua orang. Sekadar berbagi preferensi personal saya terkait salah satu ibadah sunnah di Ramadan, yaps tarawih. Preferensi ini mungkin cocok untuk Anda, namun mungkin juga tidak cocok. Tak masalah, silakan gunakan preferensi yang Anda yakin benar sesuai dengan apa yang telah dipelajari dan yakini.

Preferensi Pertama, Shalat Berjamaah

Saya sepakat bahwa shalat berjamaah di masjid atau mushola tentu memiliki keistimewaan tersendiri. Di luar urusan ubudiyah, dengan berjamaaah di luar hubungan dengan sesama dan silaturahmi dapat terbangun dan terjaga dengan baik. Namun keistimewaan ini bukan hal yang mutlak untuk selalu diambil, terutama dalam konteks shalat tarawih.

Mengapa demikian, saya meyakini hukum shalat tarawih ini adalah sunnah muakkadah, alias sunnah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan. Hukum tersebut melekat pada dijalankan/tidak dijalannya sholat tarawih, bukan pada bagaimana atau dimana sholat tersebut dikerjakan. Berbeda dengan sholat sunnah muakkadah lain seperti sholat Jumat, sholat tarawih tidak memiliki limit minimal jamaah dan syarat tempat pelaksanaan. Dengan demikian, baik mau dikerjakan di rumah, masjid, maupun mushalla, tidak ada masalah untuk saya.

Hal lain yang menjadi pertimbangan saya, saat ini saya memiliki istri dan seorang anak batita. Sebagai orang tua, tentu saya ingin memperkenalkan semarak Ramadan ke anak saya walaupun tentang hal-hal sepele. Misalnya, sekarang anak saya mengerti istilah puasa yang berarti orang tuanya boleh untuk monolak saat ia suapi makan atau minum. Sebelumnya, tentu kalau saya menolak disuapi potensi rewelnya tinggi. Termasuk misal malam-malam saya belum pulang, dia sudah mengerti bahwa ayahnya sedang di masjid, terawih.

Nah, di Ramadan kali ini, saya mencoba untuk tidak selalu tarawih di masjid. Dalam seminggu, setidaknya 2 atau 3 kali saya akan tarawih di rumah bersama istri. Menurut saya, ini adalah bagian dari tanggung jawab saya sebagai suami untuk memberikan pendidikan (atau pengertian umum) bagaimana tarawih itu kepada si bocil. Selain agar istri saya juga bisa tarawih berjamaah.

Lha kenapa anak istrinya ga diajak aja ke masjid? Hmm, mengajak batita yang masih pake pempers ke masjid menurut saya kurang bijak. Pertama, ada kekhawatiran najis yang ada di pempers entah bagaimana bocor dan menodai tempat sholat. Kedua, karena batita jelas belum kena taklif beribadah, dan terakhir, kemungkinan rewel dan berujung mengganggu jamaah lain masih tinggi, jadi saya ambil kaidah pengutamaan untuk menghindari mafsadah.

Sebagai trivia, mungkin yang belum tahu, di masa Rosullullah Muhammad saw masih sugeng, sempat Rosulullah ‘sengaja’ tidak datang tarawih karena khawatir antusiasme yang berlebihan dari ummatnya kala itu sehingga berujung anggapan bahwa tarawih ini wajib. Boleh jadi Rosulullah memang ingin memberikan penegasan dari sisi fikih status sunnah dari shalat tarawih ini agar tidak bias di kemudian hari. Di era Sayyidina Abu Bakr, tarawih dilakukan secara mandiri dan berkelompok (jamaah kecil). Tarawih berjamaah yang kita tahu saat ini merupakan bentuk ijtihad dari Sayyidina Umar Ibn Khattab sebagai upaya untuk menyatukan semangat ke-ummat-an.

Preferensi Kedua, Rakaat 20 atau 8 bebas.

Kaidah Maa Kaana Aktsaru Fi’lan Kaana Aktsaru Fadhlan yang berdasar pada Al-Ajru ‘ala qodri ma ta’ab mungkin sesuai dengan hal ini. Perbedaan jumlah rakaat ini memang sesuatu yang sudah lama adanya, mana yang benar, keduanya berpotensi benar dan sah untuk dilakukan. Soal kebenara absolut tentu wallahu a’lam dong.

Sependek yang saya tahu, jumlah 8 rakaat ini mengacu pada salah satu hadits yang matannya menginformasikan bahwa Nabi Muhammad sholat sunnah 8 rakaat di bulan Ramadan dan selain bulan Ramadan.

Perlu dipahami sebelumnya, definisi hadits tidak hanya berkutat pada apa yang disampaikan oleh Rosulullah dalam bentuk lisan, namun juga termasuk dalam bentuk tindakan, maupun ketetapan yang mengindikasikan persetujuan atas suatu hukum.

Nah tarawih 20 rakaat adalah salah satu contoh hal yang disandarkan informasi dari para sahabat yang mengatakan bahwa Sayyidina ‘Umar selalu tarawih 20 rakaat. Tentu apa yang dilakukan Sayyidina ‘Umar ini boleh dipastikan sesuai yang beliau lihat saat masih bersama Nabi.

Untuk yang belum tahu, Sayyidina ‘Umar ini adalah salah satu sahabat yang mendapat ‘stampel’ kredibilitas langsung dari Rosulullah melalui hadits; “Sesungguhnya Allah telah menjadikan kebenaran melalui lisan dan hati ‘Umar”, yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi.

Potensi Sayyidina ‘Umar untuk menambah atau mengurangi jumlah rakaat ini juga sangat kecil. Karena bila berkaitan dengan ibadah, Sayyidina ‘Umar ini biasanya yang paling plek ketiplek nurut sama Rosulullah. Seperti halnya waktu Nabi Muhammad mencium hajar aswad, walau Sayyidina ‘Umar agak enggan melakukannya, namun beliau tetap mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad sembari berkata pada Hajar Aswad; “Sungguh, aku tahu kau ini hanya batu yang tidak bisa berbuat apa-apa. Andai saja Nabi tidak menciummu, aku pun tak akan pernah menciummu!”

Dari kedua pandangan tersebut, saya mengambil keputusan untuk secara bebas memilih jumlah rakaat tarawih tanpa memandang salah pilihan rakaat satu sama lain.

Bacaan Al-Fatihah & Tuma’ninah

Di tempat saya tinggal sekarang diapit oleh masjid. Secara bergantian saya tarawih di kedua masjid tersebut sejak Ramadan tahun lalu. Kasarnya untuk balas budi, karena adzan yang saya dengar dalam keseharian biasanya berasal dari kedua masjid tersebut.

Beberapa rekan saya sempat berdiskusi soal mana yang lebih baik tarawih 20 rakaat cepat atau 8 rakaat tapi lama. Menurut saya kedua hal tersebut tidak dapat dipertimbangkan mana yang lebih di antara satu sama lain. Karena dalam shalat poin utamanya adalah sah atau tidak sah.

Ketika masih di desa, tentu banyak musala dan masjid yang menggelar jamaah tarawih. Preferensi saya memilih di mana saya akan berjamaah cukup sederhana, yang bacaan Al-Fatihah-nya paling tepat.

Ketepatan bacaan surat Al-Fatihah ini tentu bisa diuji dengan mengecek makhorijul hurufnya, penerapan tajwid di dalam membacanya, termasuk panjang pendek bacaan. Bila ada beberapa tempat yang bacaannya memang sudah tepat, ya tinggal milih mana yang terdekat. Bila semuanya memiliki kekurangan, maka dipilih yang paling mendingan tentu saja.

Banyak pendapat terkait Surat Al-Fatihah dalam konteks sholat berjamaah ini, misalnya apakah makmum wajib membaca atau tidak setelah imam selesai membaca, apakah kewajiban membaca Al-Fatihah ini ada pada setiap rakaat, dan lain sebagainya. Tapi dari semua pendapat itu, tidak dapat dipungkiri bahwa Al-Fatihah adalah komponen rukun yang HARUS ada dan dilaksanakan dengan benar untuk mendapat status sah dari sisi fikih.

Soal cara membacanya mau dengan tempo cepat atau lambat, tentu bebas. Baik cepat maupun lambat terkadang keduanya berpotensi masalah juga sebenarnya dari sisi tajwid. Misalnya untuk tempo yang cepat, terkadang ‘melanggar’ aturan waqof dalam ayat, kecuali memang dibaca secara washol dengan sadar. Untuk yang bacaan dengan lagu lambat, tentu kalau tidak memahami tajwid berpotensi kliru pada urusan panjang pendek harakat, terutama pada bagian akhir ayat yang kadang tanpa sadar dipanjangankan secara berlebihan.

Bagaimana dengan tuma’ninah, bukankah itu juga masuk rukun shalat? Iya, sebagian besar ulama memasukkan tuma’ninah ini ke dalam rukun shalat, namun sebagian ada juga yang tidak memasukkan tuma’ninah ini ke dalam rukun karena dianggap sudah akan secara otomatis ada pada tiap perubahan gerakan tiap rukun. Saya ikut pendapat yang pertama, tuma’ninah masuk rukun. Tuma’ninah atau berhenti sejenak ini saya yakini sebagai penegas untuk behentinya rukun sebelumnya, jadi tidak perlu terlalu lama yang penting clear. Misalnya dari ruku’ ke i’tidal (misal tidak ingin membaca bacaan i’tidal), maka harus jelas posisi berdirinya, biasanya saya tandai minimal dengan satu tarikan napas.

Ah, satu lagi saya lebih memilih bacaan surat setelah Al-Fatihah yang berupa surat lengkap walau pendek dibandingkan yang panjan namun berupa penggalam surat. Dalam kaidah fikih, perkara ini merupakan poin mustasnayat yang terdapat dalam kaidah Maa Kaana Aktsaru Fi’lan Kaana Aktsaru Fadhlan.


Preferensi ini tentu saja dapat berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan ilmu yang saya pelajari di masa mendatang. Semoga Ramadan ini menjadikan kita semua lebih baik untuk diri kita sendiri, orang-orang yang kita sayang, dan semua orang yang kita kenal.

Penulis

Rania Amina

Diposting pada

2024-03-22

Diperbarui pada

2024-03-22

Dilisensikan di bawah

CC BY-NC-SA 4.0

Komentar