BLOI Oh BLOI

Izinkan saya memulai tulisan ini dengan tertawa terpingkal lebih dulu. –Tertawa

Saat awal-awal berkenalan dengan dunia open source, saya pernah mendapat sesuatu yang kurang mengenakkan dari sebuah komunitas. Saat itu saya masih SMP, dan karena belum bisa berbuat apa-apa, maka saya pun memutuskan agar tidak lagi ikut cawe-cawe ke komunitas tersebut. Itu masih berlaku sampai sekarang, entah nanti. 2018, saya kira hal semacam itu terulang kembali. Bedanya, hanya lebih lucu saja menurut saya. Sebelum saya lanjut tulisan ini, perlu saya peringatkan terlebih dahulu bahwa tulisan ini saya buat sebagai refleksi diri semata, kesamaan nama dan tempat memang sebuah kesengajaan.

Sekilas Saja Tentang BLOI

Alkisah, berdiri sebuah komunitas kecil bernama BLOI, Belajar Lupa Oi!, kepanjangannya. Komunitas ini digawangi oleh seorang mahasiswa dari Puerto Rico yang masih kinyis-kinyis tapi semangatnya luar biasa. Saking semangatnya, kadang-kadang cenderung kurang perhitungan, selain juga mungkin kurang perhatian. Mari sama-sama kita sebut mahasiswa tersebut dengan Akang Tokoh. Kalau dari sisi kontribusi, Akang Tokoh ini sebenarnya cukup lumayan. Sayangnya, untuk urusan berkomunitas, saya kira dia masih perlu banyak belajar dan jalan-jalan. Akang Tokoh pernah menginap di tempat tinggal saya. Kesempatan itu mrupakan pertemuan awal saya dengan Akang Tokoh ini. Dari pertemuan tersebut, sedikit banyak saya jadi tahu bagaimana pandangan-pandangannya soal komunitas. Dari yang saya tangkap, Akang Tokoh ini memang secara sederhana punya keinginan untuk membuat komunitas BLOI menjadi eksklusif. Dipungkiri atau tidak, hal ini dapat dicek pada beberapa keputusan dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Akang Tokoh. Dari pengamatan saya selama beberapa waktu, berikut beberapa tindakan Akang Tokoh yang mengindikasikan gagasan tersebut;

  1. Kegiatan OSPEK Komunitas yang dilakukan di ruang tertutup Konon kegiatan ini untuk memperkenalkan BLOI kepada member yang baru bergabung. Sebentar, lalu kenapa harus di grup tertutup? Apakah ada rahasia yang hendak dibicarakan? Konon takut jadi spam di grup. Hmm, gini lho rek. Nek Takut jadi spam, mbok yao ditulis aja biografi ketuanya dan seluruh seluk beluk tentang BLOI di blog atau webnya, trus masukin ke channel, praktis tho? Kalau nggak dibaca gimana? Lha memangnya Anda pikir semua orang merasa perlu kenal dengan Anda? Bergabung dengan komunitas adalah hak, jadi jangan dipersulit. Apakah membuat grup tertutup sebuah masalah? Dalam konteks ini, saya pribadi mengatakan, iya. Karena dapat menimbulkan kecurigaan. Selain itu, saya seperti melihat ada monopoli informasi di sini. Grup tertutup sah-sah saja, misalnya memang diperuntukkan untuk keperluan yang jelas. Misal komunikasi antaradmin, grup project komunitas yang memang isinya adalah orang-orang yang mau berkontribusi.

  2. BLOI hanya menginformasikan urusan BLOI, bukan yang lain Ceritanya begini, sebenarnya BLOI ini bukan satu-satunya komunitas yang ada di dunia ini. Ada komunitas lain yang bahkan sebenarnya telah ada lebih dulu jika dibandingkan BLOI. BLOI sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar, OSS misalnya, seharusnya mampu untuk berintergasi dengan komunitas-komunitas lain. Tapi kenyataannya? Maaf-maaf saja, setahu saya kok hampir tidak pernah. Untuk urusan ini saya saya bisa memberikan beberapa bukti komprehensif. Misalnya, dalam hajatan LOCI kemarin, dari sisi publikasi Akang Tokoh tidak pernah sekalipun membahas soal Hajatan LOCI di BLOI, sekadar membantu menyebarkan informasi pun tidak. Dari keterangan member BLOI, konon untuk melakukan hal itu Akang Tokoh perlu bermusyarawah dengan umatnya. Ckckck (Baca cuk-cuk-cuuuk), repot banget hidup di komunitas ini. Selain soal hajatan, sering kali komunitas ini mengadakan kegiatan kulgram dengan poster yang, mohon maaf banget nih, jauh dari sip. Gini lho, BLOI ini, sekali lagi, punya tetangga yang isinya tukang-tukang nggambar. Kalau dirasa kurang mampu, mbok minta tolong. Jangan dipaksain. Toh juga minta tolong kaya gitu nggak ditarik iuran kok. Sungkan? Gimana mau berkomunitas dengan baik kalau kelebihan dan kekurangan di komunitasnya saja tidak disadari. Apa guna komunitas kalau semuanya dikerjakan sendiri? Ntar giliran dikasih masukan dikira nyerang, dikira sensi, tidak mengapresiasi, sukanya ngritik doank. Hadeeh, kapan pintere, rek. Soal kritik dan apresiasi ini nanti saya jelaskan sedikit di bawah. Nanti.

  3. Semua pandangan Akang Tokoh disampaikan melalui jubir Nah ini yang paling membuat BLOI terasa eksklusif, Akang Tokoh sebagai ketuanya termasuk manusia yang untouchable, nggak bisa tersentuh. Setiap ada omongongan terkait tentang ketua, pasti yang njawab ajudannya. Konon ia bernama A. Amati, saya kurang tahu persis nama lengkapnya. A. Amati ini paling sering memberikan jawaban-jawaban tentang pertanyaan yang ditujukan kepada Akng Tokoh. Saya curiga, jangan-jangan mereka berdua tinggal serumah. Sebab dari yang saya tahu A. Amati ini tahu betul apa yang sedang terjadi pada Akang Tokoh. A. Amati, dari yang saya tahu merupakan seorang ajudan terlatih yang memang memilki dedikasi tinggi kepada BLOI. Ia merupakan sosok pekerja keras yang senantiasa bekerja di bawah tekanan. Akibatnya, ia jadi jarang pulang kampung, kasian. Latar sosial semacam itu saya duga merupakan hal yang kemudian memberikan dampak pada psikologisnya, sering garing kalau membuat lelucon dan sering menganggap serius sebuah lelucon. Ini kan repot, kita lagi bercanda eh dia ngira serius, dia ngajak bercanda eh garing. Serba nganu. Ajudan Akang Tokoh sebenarnya bukan A. Amati seorang, setahu saya ada beberapa cuma yang paling getol dan selalu berada di sisinya hanya A. Amati, mungkin yang lain Aaaa Bodo Amat. Saya tidak tahu.

Saya kira tiga hal di atas sudah dapat memberikan gambaran tentang usaha-usaha pengeksklusifan komunitas BLOI ini.

Kritik dan Apresiasi

Di komunitas BLOI, istilah kritik dan apresiasi ini sering dipandang secara, maaf sekali, salah kaprah. Kritik dianggap sebagai ujaran sinis yang tidak membangun sedangkan apresiasi dipandang sebagai kalimat pujian. Duh, saya nggak ngerti mengapa mereka berpikiran demikian. Tapi gini, saya akan mencoba untuk menjelaskan semampu saya. Apakah penjelasan saya ini benar? Silakan kalian yang memutuskan. Kritik, selalu diasosiasikan sebagai ujaran-ujaran yang menjatuhkan. Tentunya ini kurang tepat. Di lingkungan saya belajar, sastra, kritik merupakan usaha-usaha untuk menemukan kekurangan dan kelebihan suatu karya/gagasan. Selain itu kritik juga merupakan pengejawantahan sesuatu berdasarkan interpretasi dan standar-standar teori tertentu. Ok itu bahasa ruwetnya. Intinya adalah, kritik itu bukan semata-mata men-judge (baik/buruk) tanpa sebab dan tanpa tujuan. Ini yang kadang terlupakan. Seorang pengkritik bukanlah seorang pembenci, justru merekalah yang mengamati dengan sudut pandang yang lebih luas dibanding kreator itu sendiri. Seorang tidak akan bisa mengkritik kalau ia kurang berjarak dengan objeknya. Kalau sudah antikritik, biasanya nggak akan berkembang. Kemudian apresiasi. Cah, apresiasi itu artinya memberikan penilaian. Penilaian itu bisa baik, bisa buruk, bebas. Misal ketika saya mengatakan poster itu jelek, dan saya mampu menyebutkan sebab-sebab mengapa itu saya katakan jelek, itu juga bagian dari apresiasi saya. Nah, di BLOI ini sering banget kalau ada tidak memuji sebuah karya dipandang tidak mengapresiasi, mbahmu! Tidak mengapresiasi itu berarti nggak komentar, nggak ngreken, nggak nggagas, nggak acuh, alias bodo amat. Eh, tapi bisa juga ding bentuk bodo amat itu dimasukkan kategori mengapresiasi rendah, nggak ada kewajiban kan kalau mengapresiasi harus tinggi? Kedua hal ini sering jadi masalah di BLOI. Di kekhalifahan Akang Tokoh yang diajudani A. Amati tersebut, semua kritik dianggap haram dan tindakan apresiatif haruslah bernilai positif atau tinggi. Semuanya seolah di-template-kan agar seragam. Hal ini tentunya menjadi hal yang saya protes.

BLOI, Belajar Lupa Oi!

Kita bisa merdeka dari penjajahan, tapi kita tak akan pernah bisa merdeka dari kenangan. Kenangan baik atau pun buruk akan selalu menjajah ingatan kita, ia bisa perang dengan cara bergerilya atau terang-terangan. Pada momen-momen tertentu, kenangan ini bisa bangkit dan menyerbu dengan membawa sekompi pasukan tanpa ampun. Percaya atau tidak, Akang Tokoh pernah menciptakan kenangan buruk saat hajatan di Jogja. Saat itu ia membajak sesi gitaris yang lagi asik-asiknya ndongeng. Bagi sebagian orang, hal ini mungkin bisa dilupakan. Tapi sebagian lain, belum tentu. Kenangan seorang saksi dan korban tentunya berbeda, contoh konkret, mungkin kita yang bukan orang asli Jogja bisa lupa kenangan mengenai peristiwa letusan Merapi, kapan terjadi, bagaimana rasanya mengungsi. Namun bagi korban letusan, kenangan itu abadi. Kira-kira seperti itu. Untuk masalah bajak membajak ini saya tidak ingin membahas lebih, karena status saya hanya saksi, bukan korban. Yang menyedih perasaan saya adalah ketika undangan untuk Akang Tokoh di hajatan besar selanjutnya ini hanya dipandang sebelah mata. Jujur ini mengecewakan sekali. Saya termasuk orang yang berhap Akang Tokoh ini mau diajak ngobrol langsung, supaya bisa saling berjelas paham satu sama lain. Sayangnya, itu cuma mimpi. Lebih menyedih lagi adalah peristiwa yang baru-baru ini terjadi, pemblokiran secara sepihak beberapa anggota aktif dari BLOI, kebetulan saya termasuk. Harus saya katakan agar tidak salah paham, sejujurnya saya sudah mulai bodo amat dengan BLOI ini, saya masih stay di situ karena berharap bisa membantu menjawab beberapa pertanyaan anggota lain yang membutuhkan bantuan, tapi nyatanya saya diblok. Baiklah, saya terima dengan cekikikan saja. Jalur kontribusi masih banyak, bahkan beberapa ada yang belum sempat saya kerjakan. Oiya, kalau tidak keberatan, siapa pun yang sempat bersua dengan Akang Tokoh, mohon sampaikan kepadanya agar menghapus nama saya dari daftar kontributor yang ada di situs BLOI. Saya ingin berusaha merdeka dari kenangan yang satu ini. Satu hal sebenarnyanya yang paling saya sayangkan adalah kenyataan bahwa yang diblok adalah anggota-anggota yang konan kerap memberikan masukan kritis kepada komunitas BLOI. Lebih parahnya, mereka juga memblok DONATUR web mereka sendiri. Ini antara lalai atau lupa berterima kasih jaraknya terlalu tipis. Pemblokiran ini menjadi salah satu bukti lain mereka ingin mengeksklusifkan diri mereka sendiri, dengan cara tidak menerima pandangan dari sisi-sisi lebih luas. Kegiatan memblok seseorang sebenarnya sangat wajar, namun memblok tanpa alasan ini yang patut menjadi pertanyaan. Sungguh ironi menurut saya, di komunitas sumber terbuka malah tidak ada keterbukaan sama sekali.

–Rania Amina

Penulis

Rania Amina

Diposting pada

2018-04-29

Diperbarui pada

2018-04-29

Dilisensikan di bawah

CC BY-NC-SA 4.0

Komentar