Pengalaman Ganti SSD

Pengalaman Ganti SSD

Setelah direncanakan sekian lama, akhirnya 28 Oktober kemarin jadi juga saya membeli SSD. Pada akhirnya, rencana cuma akan jadi rencana kalau di tangan tidak ada dana, klasik sekali.

Singkatnya, saya membeli SSD Radeon 120 GB dan saat itu juga saya pasang SSD tersebut di tempat.

SSD Radeon

Saya melepas ruang DVD yang ada pada laptop untuk saya pasangi caddy agar saya dapat menggunakan HDD saya sebagai media penyimpanan sekunder, untuk primer tentu saja ditempati oleh SSD. Usai pemasangan SSD, segera saya melakukan pemasangan ulang Debian, dan hanya Debian. Pemasangan terasa lebih cepat dibanding sebelumnya. SSD saya gunakan sebagai partisi / (root) 50 GB dan /home 70 GB. Setelah pemasangan selesai, nyatalah perbedaan kecepatan yang selama ini diceritakan oleh teman-teman lain yang telah sejak lama menggunakan SSD. Setidaknya, untuk melakukan boot saya tidak pelu lagi menunggu beberapa menit seperti sebelumnya. Begitu pula untuk menjalankan aplikasi semacam LibreOffice, kdenlive, terasa lebih cepat dri sebelumnya. Untuk kdenlive ini hanya proses editting-nya yag berubah, tentu saja karena untuk hal render urusannya kan dengan proci :-).

Lupa Lokasi

Saya sempat melakukan hal bodoh karena lupa. Biasanya, untuk melakukan format ulang flashdisk (khususnya pasca di-dd) saya mengarahkan format ke /dev/sdb. Karena kebiasaan ini, secara tak sadar saya mengahpus total seluruh data yang terdapat pada HDD saya :(. Ya, secara teori, setelah SSD terpasang, otomatis akan menempati sda dan HDD terdapat di sdb. Dengan demikian, jika kemudian saya mengubungkan media penyimpanan lain, maka akan menempati lokasi sdc, di situlah arah format seharusnya saya arahakan apa bila ingin melakukan format pada flashdisk.

Nasi sudah menjadi bubur. Apa boleh buat, semua data akhirnya lenyap juga, sedang saya hanya bisa meratap. Untunglah, kali ini testdisk bernar-benar dapat diandalkan. Untuk ke sekian kalinya, saya menjalankan aplikasi yang powerfull ini. Beberapa partisi telah dapat ter-recovery dengan baik, hanya tingal satu partisi yang gagal dikembalikan dengan metode quick. Akhirnya, mau tak mau saya menggunakan metode deep search yang tentunya memakan lebih banyak waktu. Hal ini terpaksa saya lakukan karena kebetulan satu partisi yang susah dikembalikan tersebut merupakan tempat utama penyimpanan data-data kerja dan kuliah.

Bebeberapa jam menunggu, akhirnya data pun dapat kembali dengan baik. Sengaja tidak saya kembalikan semua karena saat itu orientasi saya adalah mengembalikan data-data yg terpenting saja. Alhasil 90% data sudah kembali dengan keadaan sehat wal afiyat.

Malam Kamis yang Miris

Sore itu saya sedang di kampus. Sehari sebelumnya, karena capek nan lelah, sama sekali saya tak menyalakan laptop. Tanpa diduga, saat saya nyalakan bootloader-nya tak terdekteksi. Awalnya, saya menduga karena SSD saya yang konflik dengan RAM atau semacamnya (ini pernah terjadi di awal pemasangan SSD). Sempat saya bongkar dan pasang ulang, ternyata hasilnya nihil. Saya coba pasang ulang buat bootloader via firmware (kurang tahu persis apa istilahnya ini), ternyata perubahan tak dapat ditulis. Duh, kenapa ini?

Setelah banyak percobaan, akhirnya saya sadari untuk menuliskan bootloader ini perlu dipasang media penyimpanan lain. Untuk hal ini saya kurang dapat menjelaskan, pendeknya, dengan cara itu akhirnya saya dapat kembali boot ke Debian dan melakukan sudo update-grub2 dan alhamdulillah sehat sampai hari ini.


Tulisan ini sebanarnya tidak memberikan informasi apaan, karena memang sekadar curhat, hehehe. Jika Anda penasran bagaimana perbandingan kecepatan antara SSD dan HDD, saya sangat menyarankan agar Anda mencoba sendiri.

–ran

Penulis

Rania Amina

Diposting pada

2017-11-20

Diperbarui pada

2017-11-20

Dilisensikan di bawah

CC BY-NC-SA 4.0

Komentar